Olahraga dirgantara selalu memukau masyarakat, sehingga di manapun dan
kapanpun, kegiatan itu diselenggarakan, akan selalu menarik perhatian
masyarakat. Salah satunya adalah terjun payung.
Selain mengandalkan teknik, olahraga terjun payung memacu adrenalin dan
membutuhkan nyali besar. Pasalnya, olahraga ini cukup menantang maut.
Olahraga ini memang tontonan yang menarik dan menimbulkan rasa
penasaran untuk mencoba. "Bukan hanya nyali, tapi prosedur keselamatan
juga harus diperhatikan. Kalau kita melaksanakan aturan yang ada dengan
benar, tentu risiko bahaya pun semakin kecil. Pokoknya safety first,"
kata Nisfu Chasbullah, Chairman Persatuan Olahraga Dirgantara (Pordiga)
Terjun Payung.
Ada tiga jenis karakter terjun payung, yaitu ketepatan mendarat, kerja
sama di udara, dan kerja sama antarkanopi. Masing-masing jenis ini
mempunyai karakter tingkat kesulitan dan karakter kepuasan tersendiri.
"Jika kita terjun di nomor ketepatan mendarat, tentu kepuasan itu
datang apabila kita bisa menginjak "titik zero" di titik biru. Ini
bukan hal yang mudah mengingat kita harus memperhitungkan saat di
udara. Tapi bila kita berhasil melakukannya, itu adalah lompatan yang
sempurna," kata Nisfu.
Begitu pula dengan kerja sama di udara dan antarkanopi. "Kalau kerja
sama berjalan dengan baik, tentu merupakan kepuasan. Sebab, itu adalah
satu hal yang dilakukan secara bersama-sama. Mereka harus
berkonfigurasi dan merencanakan sesuatu itu dari atas awan sampai nanti
di darat," jelasnya.
Melayang-layang di angkasa luas, rasanya seperti berenang dan
meinggalkan memori tersendiri. Bercengkerama dengan awan memang
memberikan kepuasan lebih. Melihat pemandangan yang terbentang luas
dari atas awan begitu memanjakan mata. Melayang seperti burung di
antara embusan angin sejuk pegunungan merupakan sensasi tersendiri.
Pemandangan daratan begitu memukau bila diliat dari atas. Semua yang ada
di daratan hanya titik kecil. Bumi memang tak berujung, dimensi
pandangan mata sungguh tak terbatas. Di situlah kita sadar akan
kebesaran Tuhan.
Sekilas, olahraga ini lumayan menguras kocek. Pasalnya, sebuah pesawat
sangat diperlukan untuk melakukan lompatan. Selain itu, harga peralatan
penunjang seperti Canopi, Harness & Container, Payung Cadangan,
Altimeter, Googles (kacamata), Jumpshoot, dan Helm mencapai kurang
lebih Rp 36 juta. Kendati demikian, Nisfu membantah bahwa terjun payung
adalah olahraga yang cukup mahal. Menurutnya, banyak cabang olahraga
lain yang jauh lebih mahal ketimbang terjun payung. "Misalnya olahraga
yang berhubungan dengan otomotif. Pasti itu memerlukan biaya yang tidak
sedikit untuk perawatan dan hal lainnya. Terjun payung itu olahraga
yang relatif tidak mahal. Buktinya ada juga penerjun yang berasal dari
kalangan mahasiswa yang notabene mereka mempunyai keterbatasan dana,"
ungkapnya.
Sejarah Terjun Payung
Sudah lama manusia ingin melakukan penerjunan, namun tidak dapat
dilaksanakan karena belum ada peralatan memadai. Akhirnya, sekitar
tahun 1617, Fausto Veranzio menjadi manusia pertama yang melakukan
penerjunan dari sebuah menara di Venesia, Italia, dan mendarat dengan
selamat menggunakan alat yang mirip parasut. Sedangkan penerjunan dari
suatu benda terbang, baru dilaksanakan untuk pertama kalinya sekitar
tahun 1797, yaitu oleh Andre Jacques Garrnerin di Paris, Perancis, dari
sebuah balon udara.
Leslie Irvin yang diselamatkan oleh parasut dalam suatu kecelakaan di
Inggris, merasa berhutang budi pada perlengkapan itu. Sejak peristiwa
yang terjadi pada tahun 1919 itulah akhirnya ia membaktikan seluruh
sisa hidupnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan teknologi dan
sistem parasut.
Marsdya TNI (Pur) Budiarjo, menjadi orang Indonesia pertama yang
memanfaatkan parasut, yaitu saat ia bertugas sebagai telegrafis (RTU)
di sebuah pesawat pembom Glen Martin, mengalami kerusakan dan terpaksa
terjun menggunakan parasut. Penggunaan parasut dalam operasi militer di
Indoensia untuk pertama kalinya dilaksanakan dalam suatu Operasi
Lintas Udara, yaitu tanggal 17 Oktober 1947 di Kotawaringin, Kalimantan
di mana diterjunkan 13 orang anggota Pasukan Gerak Tjepat AURI untuk
mempertahankan keutuhan wilayah nasional untuk melawan penjajah
Belanda. Namun orang yang pernah terjun payung di Indonesia adalah
anggota Angkatan Udara Belanda, Pembantu Letnan A.J. Oonine, di
Pangkalan Udara Kalijati, tanggal 30 Desember 1930.
Terjun Payung di Indonesia
Tuti Gantini, putri angkat Kolonel Udara R.H. Wiriadinata, menjadi
orang sipil pertama yang terjun payung (statik). Peristiwa bersejarah
itu disusul oleh delapan orang wartawan asal Jakarta dan Bandung yang
mengikuti pendidikan Sekolah Para Angkatan Udara pada angkatna ke-42 di
Margahayu, Bandung. Mereka masih menggunakan payung Ervin buatan
Inggris dalam Perang Dunia II dan payung D-1 dengan selubung buatan
Sovyet. Mereka dilatih mendarat dengan system tumbling dan push. Dalam
perkembangannya, Angaktan darat, Laut, Udara dan Kepolisian melatih
para pemuda yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa untuk terjun
freefall. Semula mereka menggunakan payung bundar seperti Ervin dan
Para Commander, tapi kemudian menggunakan berbagai jenis payung square
yang jauh lebih canggih.
Namun terjun payung sebagai olahraga, baru diperkenalkan di Indonesia
untuk pertama kalinya tahun 1962 oleh Mladen Milicevic (Mica), seorang
yang berkebangsaan Yugoslavia, yang saat itu diperbantukan di Sekolah
Para Komando TNI AD di Batujajar. Sejak itu, terjun payung berkembang
menjadi sebuah olahraga yang semakin digemari. Perkumpulan terjun
payung pertama adalah AVES didirikan di Bandung oleh para mahasiswa ITB
bersama wartawan Trisnoyuwono tanggal 29 Juli 1969. Akhirnya olahraga
terjun payung pun mulai berkembang pesat. PUncaknya, tanggal 17 Januari
1972, klub-klub terjun payung yang terdapat di Indonesia (62 klub)
sepakat untuk bergabung dalam induk organisasi Federasi Aero Sport
Indonesia (FASI).
Cabang olahraga ini tak bisa lepas dari kemajuan teknologi, yang mampu
menciptakan peralatan-peralatan baru yang semakin hari semakin canggih.
Penggunaan peralatan baru tersebut oleh para atlet memungkinkan
dilakukannya manuver-manuver baru di udara yang sulit dilakukan dengan
peralatan jenis lama. Bahkan dengan menggunakan peralatan baru tersebut
mampu dipecahkan rekor-rekor baru dalam berbagai nomor perlombaan.
Cabang olahraga terjun payung memperlombakan berbagai nomor antara lain
ketepatan mandarat, kerja sama di udara, kerja sama antarkanopi dan
free style. Nomor-nomor lain adalah formation skydiving dan sku
surfing. Jenis parasut yang digunakan dalam perlombaan terjun payung
misalnya jenis DC-5 untuk ketepatan mendarat, atau PD-150 untuk kerja
sama di udara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar